Arsitektur Rumah Tradisional Bali,
merupakan suatu karya arsitektur yang lahir dari suatu tradisi,
kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat Bali yang diwujudkan
dalam berbagai bentuk fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat
pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan, dan lain-lain. Lahirnya
berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
keadaan geografi, budaya, adat-istiadat, dan sosial ekonomi masyarakat.
Ditinjau dari aspek geografi terdapatlah Arsitektur Tradisional Bali
dataran tinggi (daerah pegunungan) dan Arsitektur Tradisional Bali
dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi pada umunya bangunannya
kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan keadaan lingkungannya yang
cenderung dingin. Tinggi dinding relatif pendek untuk menghindari
sirkulasi udara yang terlalu sering. Satu bangunan bisa digunakan untuk
berbagai aktifitas mulai aktifitas sehari-hari seperti tidur, memasak
dan untuk hari-hari tertentu juga digunakan untuk upacara. Luas dan
bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan disesuaikan dengan
topografi tempat tinggalnya.
Untuk daerah dataran rendah,
pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa menampung beberapa
massa dengan pola komunikatif, umumnya berdinding terbuka, yang
masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja untuk ruang
tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan
menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur
untuk memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk
pemujaan. Untuk keluarga raja dan brahmana pekarangnnya dibagi menjadi
tiga bagian yaitu jaba sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan
tengah) dan jero (pekarangan untuk tempat tinggal). Bahan bangungan juga
mencerminkan status sosial pemiliknya. Masyarakat biasa menggunakan
popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding
bangunan, sedangkan golongan raja dan brahmana menggunakan tumpukan
bata-bata.
Untuk tempat suci/tempat pemujaan baik milik satu
keluarga maupun milik suatu kumpulan kekerabatan menggunakan bahan
sesuai kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Seperti untuk bahan
atap menggunakan ijuk bagi yang ekonominya mampu sedangkan bagi yang
ekonominya kurang mampu bisa menggunakan alang-alang atau genteng.
Dalam
proses pembangunan, diawali dengan pengukuran tapak yang disebut dengan
nyikut karang. Dilanjutkan dengan caru pengeruak karang yaitu ritual
persembahan kurban dan mohon izin untuk membangun. Setelah izin didapat
barulah dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin. Ini
bertujuan untuk mohon kekuatan pada ibu pertiwi agar kelak bangunan
menjadi kuat dan kokoh. Untuk pekerjanya termasuk ahli bangunanya
dilakukan upacara prayascita untuk memohon bimbingan dan keselamatan
dalam bekerja. Jika semua ritual sudah dilaksanakan barulah pembangunan
dimulai. Setelah bangunan berdiri dan sebelum digunakan dilakukan
upacara syukuran yang disebut melaspas dan pengurip. Ini bertujuan
membersihkan bangunan dari energi-energi negatif dan menghidupkan aura
bangunan tersebut.
Masyarakat Bali selalu mengawali dan
mengakhiri suatu pembangunan dengan upacara atau ritual. Semua ritual
tersebut pada intinya bertujuan memberi kharisma pada bangunan yang akan
dibangun dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan
Penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya.
Dalam
perkembangannya Arsitektur Tradisional Bali mengalami perkembangan dan
pergeseran fungsi yang berpengaruh pada bentuk, struktur, konstruksi,
bahan dan cerminan sosial pemiliknya. Seperti wantilan yang dulunya
untuk balai pertemuan dan kegiatan adat mengalami perkembangan fungsi
yaitu sebagai pendidikan Taman Kanak-kanak, tempat usaha, arena olah
raga, dan lain-lain. Kemajuan pariwisata juga berdampak pada peningkatan
taraf hidup masyarakat Bali sehingga sekarang sulit dibedakan mana puri
dan rumah masyarakat biasa. Karena masyarakat biasa yang ekonominya
sudah mapan tidak ada larangan membangun tempat tinggal layaknya sebuah
puri. Begitu juga puri yang dulunya merupakan tempat tinggal raja dan
keluarganya yang mana penjagaannya sangat ketat dan penuh aturan
sekarang ada yang difungsikan sebagai tempat kunjungan wisatawan, justru
keluarga puri yang keluar mencari tempat tinggal yang baru.
Pesatnya
perkembangan teknologi tidak bisa dipungkiri juga berpengaruh pada
Arsitektur Tradisional Bali. Walau arsitektur tradisional yang selalu
didasari atas tradisi juga mengalami perkembangan dan selalu mengikuti
perkembangan zaman.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar